" Dia terus menangis, tidak berhenti.
Sebagai seorang teman yang baik, aku memutar otak, mencari ribuan cara
yang belum pernah kugunakan padanya, untuk membuatnya berhenti menangis.
Tapi bahkan lima jilid buku cara itu sudah katam semua.
Sebenarnya aku benci ketika melihatnya selalu begini setiap bercerita
padaku. Apa tidak pernah ada hal menyenangkan yang bisa ia katakan
dengan mata berbinar-binar?
Dia bilang, "kalau memang aku harus pergi, aku akan pergi,"
Tapi aku melihat kebohongan di matanya. Mungkin mulutnya bicara begitu,
tapi aku tahu, ia ingin aku menahannya. Berkata bahwa masih ada harapan.
Ia ingin aku juga percaya, seperti yang selalu dilakukannya.
"Kalau memang sakit, berhenti saja," mungkin kalimat itulah yang paling
sering melompat keluar dari mulutku, untuk sekedar menenangkannya.
Walaupun ia hanya tersenyum dan tertawa garing, aku tahu, bukannya
menenangkan, malah seperti menuangkan minyak pada api. Siapapun tidak
menginginkan perpisahan, bukan? Dalam hati aku meneriakkan kata-kata
maaf berulang kali. Tidak seharusnya aku berkata begitu. Maaf.
Ia seorang yang tegar, dan hal itu tidak perlu dipertanyakan. Meminta
pendapatku, mungkin adalah kesalahan terbesarnya, mungkin akan menjadi
seperti curhat pada anak-anak, dengan solusi yang tidak dewasa. Aku
meracuni pikiran-pikirannya dengan hal-hal egois, dan terkesan
mementingkan diri sendiri, mencari posisi paling nyaman bagi diri
sendiri. Padahal semua tidak semudah yang kukatakan, bukan? Aku hanya
bicara, namun dia yang merasakan. Ia yang menanggung berat dan sakitnya.
Apakah siklusnya selalu seperti itu?
Merasa senang, bahagia, tertawa, kemudian kecewa, sedih, dan menangis. Apakah itu definisinya?
"Aku sih.... selalu suka," katanya saat aku bertanya tentang apa yang ia rasakan sekarang.
Dan kalimat itu membuatku sadar, bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan dari perjalanan itu.
Percaya saja.
Walaupun tidak benar-benar mengerti, aku menepuk pundaknya dan berkata
bahwa dia dan orang itu hanya butuh waktu. Introspeksi diri
masing-masing. Jika dibandingkan dengan saran ku untuk berhenti, kurasa
ia lebih tertarik pada usul yang satu ini. Bagaimanapun juga, berhenti
akan sangat sulit. Bukankah aku juga pernah merasakannya?
Dan.. aku tidak tahu keajaiban apa yang dilakukanNya, tapi aku
menyimpulkan bahwa saat ini mereka sudah baik-baik saja. Inilah buah
dari introspeksi. Hasil dari bersahabat dengan waktu. Aku senang, karena
dia terus percaya bahwa mereka akan baik-baik saja, walaupun ia
mengatakannya dengan bahasa air mata yang seolah memaksanya untuk segera
berhenti saja, tapi toh nyatanya ia bertahan dan aku yakin ia tidak
menyesal melakukannya. Baiklah, don't stop believing. "
dikutip dari raraaarar.blogspot.com :))